Perkembangan musik Melayu di Indonesia telah mulai
sejak lama. Dahulu, kita mengenal adanya musik Orkes Melayu yang masih menggunakan
gitar akustik, akordeon, rebana, gambus dan suling sebagai instrument utamanya. Pada periode 50 dan 60-an,
orkes-orkes Melayu di Jakarta ini memainkan lagu-lagu Melayu Deli asal Sumatera
Perlahan, seiring perkembangannya, unsur India mulai juga masuk ke dalam musik Melayu. Ellya Khadam dengan hits
“Boneka India”-nya merupakan representasi dari gejala ini. Selain itu masih ada
penyanyi lain seperti P.Ramlee (Malaysia), Said Effendi (dengan lagu Seroja)
dan lainnya yang mempopulerkan genre musik ini.
Tonggak perkembangan music Melayu (yang berkelindan dengan
music dangdut) adalah dengan adanya Soneta Group, pimpinan Rhoma Irama di tahun
1970-an. Setelah itu, music Indonesia diwarnai oleh beragam genre yang
merupakan unsur-unsur asing seperti Rock, Reggae, Heavy Metal hingga SKA dan
Grundge (Alternative). Pada masa ini, musik Melayu memasuki periode hiatus alias
mati suri. Hal ini terbukti dengan tidak banyaknya musisi baik solo maupun
group yang mengusung genre Melayu. Di periode ini, lagu Melayu yang paling saya
ingat adalah “Isabela” yang disuarakan grup Malaysia.
Musik Melayu dan Perkembangannya di Sumater Utara
Seni musik Melayu sangat terpengaruh musik Cina, Portugis,
India, Arab, dan Persia, sehingga bentuk awalnya tidak dapat diterka lagi.
Dalam perkembangannya, musik Melayu menghadapi berbagai masalah, sehingga perlu
dilakukan pengkajian yang mendalam.
Sejarah kesenian Melayu dapat ditelusuri dengan melihat
pengaruh dunia luar dalam seni musik, lagu, dan tari Melayu. Pengaruh ini
terjadi karena hubungan dagang antara Kerajaan Melayu Aru yang berpusat di Deli
dengan Malaka sudah berlangsung sejak abad ke-13. Sejak tahun 1511 M Malaka
menjadi benteng Portugis, sehingga pengaruh Portugis juga mewarnai nada dan
gerak tari Melayu yang disesuaikan dengan resam dan kebiasaan suku itu.
Pengaruh Portugis tersebut tergambar dalam tari atau rentak Pulau Sari yang
lebih dikenal dengan nama Serampang XII
Pengaruh Siam juga diterima melalui Kedah dan Perlis dalam
seni dramatari Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat
dan di Kerajaan Serdang. Pengaruh Arab datang sejalan dengan masuknya Islam ke
negeri-negeri Melayu. Corak Arab dapat dilihat dalam kesenian Zapin (Gambus),
Kasidah, Rodat atau Barodah, serta Zikir Barat. Pengaruh Tamil (Keling, India
Selatan) muncul dalam teater dan alat musik. Alat musik India seperti harmonium
dan tabla digunakan untuk mengiringi lagu Melayu. Rentak (tempo) yang
dihasilkan pada masa itu juga dikenal dengan nama chalti.
Kesenian Melayu seperti musik, lagu, maupun tari yang
berkembang hingga pertengahan tahun 1930 dan akhir tahun 1942 sangat bersebati
dengan masyarakat pendukungnya. Dulu pengarang lagu-lagu Melayu umumnya tidak
mencantumkan namanya dalam karya mereka, tetapi ada juga nama pengarang yang
sempat diketahui dari mulut ke mulut. Mereka sudah lanjut usia, dan sebagian
sudah meninggal dunia. Di antara mereka adalah, Tengku Perdana atau Dahlan
Siregar (alm.) yang menciptakan lagu Pulau Putri, dan Tengku Zubir yang lebih
dikenal dengan nama Tengku Cubit yang menciptakan Kuala Deli. Lagu ini sangat
terkenal di tanah Deli. Usman menciptakan lagu Dodoi Di Dodoi. Nama-nama
pengarang dan lagunya sudah didaftar oleh Dewan Kesenian Medan dan Bidang
Kesenian Kanwil Depdikbud Sumatera Utara.
Periodisasi
Perkembangan Musik Melayu Di Sumatera Utara
a. Periode 1942–1945
Pada masa pemerintahan Jepang,
penampilan kesenian di Istana Serdang sangat kurang, tidak seperti sebelumnya.
Kekurangan sangat terasa pada tahun 1942–1945, karena pergolakan politik yang
terjadi pada masa itu. Walaupun demikian pada saat-saat tertentu penulis masih
dapat mendengarkan lagu-lagu Melayu dari kelompok ronggeng yang sengaja
dipanggil ke Istana Serdang untuk menghibur. Lagu-lagu Melayu seperti Senandung
Dendang Sayang, Senandung Laksamana Mati Dibunuh, Senandung Anak Tiung, Mak
Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan, Lagu Dua, Tanjung Katung, dan Lagu Dua
Seratus Enam tidak luput dari pendengaran. Lagu Dua Pulau Sari yang bertempo
cepat dan selalu mengakhiri tari Serampang XII juga sempat terdengar.
b. Periode 1945–1949
Pada tahun 1945–1949 revolusi sosial melanda
kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Raja yang dulu sering menyelenggarakan
pertunjukan kesenian tidak berkuasa lagi, sehingga pertunjukan kesenian tidak
ada lagi. Pada masa itu masyarakat memfokuskan diri pada kebutuhan sehari-hari
dan aktif berjuang melawan penjajahan. Raja dan keturunannya yang tersisa tidak
aktif lagi dan hanya berpikir untuk kelanjutan hidup. Pemusik, penari, dan
penyanyi andalan sudah terpencar dan banyak yang beralih profesi. Beberapa alat
musik telah dijual, sementara sebagian besar lainnya tidak terpelihara. Menjelang
tahun 1950 beberapa pemusik, penari, dan penyanyi andalan itu sudah lanjut usia
dan meninggal.
c. Periode 1950–1965
Pada periode ini, seni tari, lagu, dan musik Melayu kembali
mendapat tempat di kalangan masyarakat, baik masyarakat Melayu sendiri maupun
masyarakat Indonesia lainnya. Pada masa itu muncul tokoh tari Melayu yang
bernama Sayuti, seorang pegawai PP&K Sumatera Utara yang berhasil menggugah
seluruh masyarakat lndonesia dengan tari Melayu hasil gubahannya. Beliau
berusaha mempopulerkan tari Melayu dengan menggunakan metode yang ringkas dan
mudah dipelajari. Sayuti menggubah tari Tiga Serangkai yang terdiri dari tari
Senandung dengan lagu Kuala Deli, tari Mak Inang dengan lagu Mak Inang Pulau
Kampai, dan tari Lagu Dua dengan lagu Tanjung Katung. Selain itu, tari Mak
Inang, tari Cek Minah Sayang, tari Anak Kala, dan beberapa tari Melayu lainnya
juga digubahnya. Sebagai klimaks, Sayuti menggubah dua belas macam ragam
berdasarkan tari-tari Melayu yang ada. Tari ini kemudian dikenal dengan tari
Serampang XII.
Tari Serampang XII ini sangat menarik minat dan perhatian
masyarakat, terutama generasi muda. Hal ini terbukti dengan terselenggaranya
Festival Serampang XII pada setiap tahun sejak awal kegemilangannya hingga
sekarang. Setiap pengiriman misi kesenian ke luar negeri maupun pada kesempatan
mengisi acara kesenian di Istana Negara, Serampang XII dan beberapa tari Melayu
lainnya selalu mendapat sambutan. Tahun-tahun tersebut boleh dikatakan sebagai
masa suburnya kesenian tari Melayu.
Pembinaan Dan Perkembangan
Musik Melayu
Setelah keadaan tenang dan pemerintah berkeinginan memajukan
kebudayaan nasional, kita segera sadar perlunya pelestarian kebudayaan bangsa.
Kebijakan pemerintah di bidang pariwisata, telekomunikasi, dan kebijakan lain
sangat bermanfaat bagi pembinaan kesenian dan kebudayaan. Pada umumnya
pelayanan kesenian disalurkan melalui wadah tertentu yang sudah terarah,
sehingga menimbulkan gairah bagi seniman dan pecinta seni di Indonesia untuk
berkesenian. Perubahan itu juga dirasakan kesenian Melayu yang menunjukkan
prospek baik dengan munculnya kesenian Melayu di televisi, lahirnya karya film
yang berkultur Melayu (Musang Berjanggut), dan penyiaran musik dan lagu Melayu
melalui RRI yang diselenggarakan oleh masyarakat Melayu dan masyarakat daerah.
Beberapa Perkembangan
Musik Di Medan Dan Sekitarnya
Musik tradisional Melayu kembali muncul, seperti musik
angkatan Makyong Serdang pimpinan T. Luckman Sinar, yang mengiringi tari-tarian
dari Himpunan Seni Budaya Melayu Sri Indra Batu Medan yang penulis pimpin.
Penampilan pertama pada tahun 1976 mendapat respon dari masyarakat, baik
masyarakat Melayu maupun masyarakat daerah lain. Hal itu menunjukkan bahwa
masyarakat masih merindukan jenis musik tersebut. Berbagai perkumpulan dan
organisasi kesenian yang menggunakan alat musik campuran juga muncul di luar
kota.
Selain itu juga tumbuh minat kaum muda untuk membawakan
lagu-lagu Melayu dengan orkes, band, dan musik kecil yang membuahkan aransemen
baru yang terpengaruh musik Barat, seperti tempo cha-cha, mambo, rumba, dan
sebagainya. Kelompok yang terpengaruh tersebut seperti SIRlS Combo pimpinan
THM. Daniel. Dia dan rekanrekannya meneruskan warna dan corak orkes Tropicana.
Minat masyarakat daerah lain pun semakin besar. Ini ditandai
dengan dibawakannya lagu-lagu Melayu oleh orkes Minang. Bahkan
penyanyi-penyanyi pop pun sering membawakan lagu-lagu Melayu, seperti lagu
Bunga Tanjung, Seringgit Dua Kupang, Mak Inang Pulau Kampai, dan sebagainya.
Tumbuhnya tari-tari kreasi baru juga menghasilkan aransemen musik Melayu baru,
walaupun sebagian besar lagu yang mengiringi tarian tersebut masih seperti
lagu-lagu yang biasa didengar.
Musik Melayu dipengaruhi oleh musik asing, termasuk musik
India yang membuahkan rentak atau tempo yang disebut chalti. Chalti ini kemudian
melejit dan lebih dikenal sebagai musik dangdut. Sebagian orang mengakui bahwa
lagu dangdut adalah lagu Melayu, sedang masyarakat Melayu sendiri ada yang
enggan mengakuinya sebagai lagu Melayu. Jika melihat sejarah, mungkin pengaruh
itu ada pada musik Melayu awal. Sekarang pengaruh tersebut sudah tidak jelas,
karena ada pengaruh lain sehingga berbeda dengan rentak dan tempo chalti. Hal
ini belum penulis ketahui dengan pasti, tetapi merupakan perkembangan baru yang
menambah ragam rentak lagu Melayu yang telah ada dan akan menambah khazanah
musik Indonesia.
Dibukanya jurusan Musikologi Etnik pada Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara yang
mencantumkan teori dan praktik musik Melayu telah menumbuhkan
harapan cerahnya kehidupan musik Melayu pada masa mendatang. Dampaknya pada
generasi muda sangat positif. Generasi muda di Sumatera Utara,khususnya Medan
tidak lagi merasa “kampungan” bila memainkan musik tradisi Melayu.
Demikian beberapa catatan yang menandai kemajuan dan
perkembangan musik Melayu di Sumatera Utara saat ini. Dari beberapa kemajuan
dan perkembangan musik Melayu tersebut masih ada yang perlu dibicarakan dan
penulis ingin mengaitkannya dengan tari Melayu, karena keduanya berkaitan erat.
Hampir setiap pergelaran musik diiringi tari dan begitu pula sebaliknya.
Frekuensi penyajian dan wilayah pengenalan dari keduanya telah meluas. Usaha
untuk memperluas lagi dilakukan dengan menambah sarana dan fasilitas, serta
dengan melakukan penggodokan terhadap para pendukungnya secara terus-menerus.
Musik dan tari mendapat tempat dalam masyarakat luas, sehingga mendapat
pengaruh dari beragam kultur yang kemudian membuahkan bermacam-macam gaya.
Kita menyadari bahwa setiap perkembangan selalu menuju
kemajuan. Namun perlu diingat bahwa kemajuan itu hendaknya disesuaikan dengan
kepribadian bangsa kita. Perkembangan kesenian daerah harus diselaraskan dengan
ciri khas daerah tersebut agar tidak tercerabut dari akar budayanya. Dalam
makalah ini juga akan dikemukakan arah yang bisa dipegang agar pembicaraan
mengenai tari dan musik tidak membingungkan, karena keduanya mempunyai
persamaan dan perbedaan. Musik/lagu dan tari Melayu mempunyai kekhasan yang
bisa ditandai dari beberapa hal, misalnya dalam lagu Melayu dikenal istilah
gerenek, tekuk, berenjut, dan sebagainya. Sementara dalam tari dikenal istilah
gentan, terkam, angguk legar, cicing, jinjit, menumit, sauk, dan sebagainya.
Gerak dan gaya khas dan unik dalam tari dan lagu Melayu yang
diberi nama tertentu tersebut akan dapat segera dirasakan oleh orang yang
memahami tari dan lagu Melayu. Memang tidak seluruh penyanyi atau penari dapat
melakukan gerak dan gaya khas Melayu, dan jika ada yang bisa melakukannya,
belum tentu sesuai degan “rasa” orang Melayu. Orang Melayu sendiri tidak dapat
menjelaskan yang dimaksud dengan “rasa”. Hal itu karena “rasa” sangat abstrak
dan tidak ada takaran yang sahih mengenai hal itu. Barangkali “rasa” condong
kepada ekspresi jiwa atau pengungkapan seperti yang ada pada setiap manusia,
sehingga “rasa” sulit diverbalkan.
Pengaruh dari berbagai bentuk dan jenis kesenian yang ada
tentu tidak dapat dihindari. Seorang penata tari tertarik pada suatu gerak
tertentu, lalu mengembangkannya, dan pada proses seperti itu terjadi perubahan
nilai estetika kesenian Melayu, sehingga dalam rentang waktu tertentu kita
kehilangan ciri khas kemelayuannya. Contoh yang ingin penulis kemukakan di sini
adalah yang terjadi pada lagu-lagu Melayu. Seorang biduan Minang membawakan
lagu Bunga Tanjung yang dikenal sebagai lagu Melayu. Cara membawakan lagu
tersebut akan segera ditandai oleh pendengaran orang Melayu
Tren Melayu di belantika music Indonesia mengundang polemik.
Hal ini terjadi seiring adanya komentar dari beberapa musisi tanah air yang
mencap music jenis ini sebagai sebuah degradasi (penurunan mutu). Hal ini
sampai menimbulkan kesan ‘perang dingin’ antara musisi yang –terus terang –
membuat saya suka senyum-senyum sendiri. Sebegitu immature-nya kah musisi kita?
Menurut WIKI, perkembangan music
Melayu di Indonesia telah mulai sejak lama. Dahulu, kita mengenal adanya music
Orkes Melayu yang masih menggunakan gitar akustik, akordeon, rebana, gambus dan
suling sebagai instrument utamanya. Pada periode 50 dan 60-an, orkes-orkes
Melayu di Jakarta ini memainkan lagu-lagu Melayu Deli asal Sumatera (sekitar
Medan). Perlahan, seiring perkembangannya, unsur India mulai juga masuk ke
dalam music Melayu. Ellya Khadam dengan hits “Boneka India”-nya merupakan
representasi dari gejala ini. Selain itu masih ada penyanyi lain seperti
P.Ramlee (Malaysia), Said Effendi (dengan lagu Seroja) dan lainnya yang
mempopulerkan genre music ini.
Tonggak perkembangan music Melayu
(yang berkelindan dengan music dangdut) adalah dengan adanya Soneta Group,
pimpinan Rhoma Irama di tahun 1970-an. Setelah itu, music Indonesia diwarnai
oleh beragam genre yang merupakan unsur-unsur asing seperti Rock, Reggae, Heavy
Metal hingga SKA dan Grundge (Alternative). Pada masa ini, musik Melayu memasuki
periode hiatus alias mati suri. Hal ini terbukti dengan tidak banyaknya musisi
baik solo maupun group yang mengusung genre Melayu. Di periode ini, lagu Melayu
yang paling saya ingat adalah “Isabela” yang disuarakan grup Malaysia.
Namun sebagaimana jenis seni apapun
(mo fashion, painting, dll), music juga mengalami proses
recycle
. Unsur-unsur
Melayu yang pernah dinyatakan “mati”, usang dan nggak nyeni itu mulai ngetop
lagi dengan adanya grup-grup seperti ST 12, Wali, Hijau Daun dan lainnya.
Bahkan Soneta “reinkarnasi” kembali di sosok Ridho Roma.
Alat Musik Tradisional Melayu
Musik merupakan salah satu hiburan bagi manusia. Dengan musik
perasaan menjadi tenang dan damai. Sejak zaman dahulu musik sudah menjadi
bagian dari kehidupan manusia. Tidak terkecuali di tanah Melayu Riau. Tanah
Melayu adalah salah satu daerah yang memiliki musik yang unik.
Alat musik melayu dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu:
- Aerofons adalah alat musik tiup.
Alat musik melayu dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu:
- Aerofons adalah alat musik tiup.
- Cordofons adalah instrumen musik yang memiliki senar yang
dimainkan dengan cara dipetik.
- Idiofons adalah instrumen musik perkusi yang dimainkan
dengan cara dipukul.
- Membranofons, alat musik yang terbuat dari kulit atau membran yang membentang di atas instrumen untuk menghasilkan suara yang bila dipukul.
- Membranofons, alat musik yang terbuat dari kulit atau membran yang membentang di atas instrumen untuk menghasilkan suara yang bila dipukul.
Alat Musik Tradisional Melayu Riau
Pada budaya Melayu, alat musik digunakan untuk mengiringi
tarian atau lagu-lagu tradisional Melayu. Berikut beberapa alat musik
tradisional Melayu Riau:
1. Rebana Ubi
Alat musik ini sangat terkenal sejak zaman kerajaan Melayu
Kuno. Rebana ubi sering digunakan saat upacara pernikahan.Selain itu Rebana ubi
juga digunakan sebagai alat komunikasi sederhana pada zaman itu karena bunyinya
yang cukup keras. Jumlah pukulan pada rebana ubi memiliki makna tersendiri yang
telah dipahami oleh masyarakt saat itu.
2. Kompang
Kompang merupakan alat musik Melayu yang paling populer saat
ini, kompang banyak digunakan dalam berbagai acara-acara sosial seperti pawai
hari kemerdekaan. Selain itu alat musik ini juga digunakan untuk mengiringi
lagu gambus. Kompang memiliki kemiripan dengan rebana tetapi tanpa cakram logam
gemerincing di sekelilingnya.
3. Sape
Sape adalah seruling tradisional masyarakat Melayu. Alat
musik dibuat dengan bambu panjang yang dilubangi sehingga menghasilkan nada
yang indah. Alat musik ini dapat dimainkan dengan cara ditiup. Sape digunakan
untuk melengkapi musik tarian tradisional Melayu. Selain itu, sape juga
digunakan sebagai pelengkap musik pengiring dari lagu tradisional Melayu.
Sampai saat ini alat musik ini masih sering digunakan. Salah satunya adalah
untuk mengirinya musik dangdut (perkembangan dari musik Melayu).
Sumber:http://dedeaaan.blogspot.com/2012/05/sejarah-musik-melayu.html
No comments:
Post a Comment