disaat sendiri

Sunday, 30 November 2014

SEJARAH MUSIK MELAYU


Perkembangan musik Melayu di Indonesia telah mulai sejak lama. Dahulu, kita mengenal adanya musik Orkes Melayu yang masih menggunakan gitar akustik, akordeon, rebana, gambus dan suling sebagai instrument utamanya. Pada periode 50 dan 60-an, orkes-orkes Melayu di Jakarta ini memainkan lagu-lagu Melayu Deli asal Sumatera Perlahan, seiring perkembangannya, unsur India mulai juga masuk ke dalam musik Melayu. Ellya Khadam dengan hits “Boneka India”-nya merupakan representasi dari gejala ini. Selain itu masih ada penyanyi lain seperti P.Ramlee (Malaysia), Said Effendi (dengan lagu Seroja) dan lainnya yang mempopulerkan genre musik ini.
Tonggak perkembangan music Melayu (yang berkelindan dengan music dangdut) adalah dengan adanya Soneta Group, pimpinan Rhoma Irama di tahun 1970-an. Setelah itu, music Indonesia diwarnai oleh beragam genre yang merupakan unsur-unsur asing seperti Rock, Reggae, Heavy Metal hingga SKA dan Grundge (Alternative). Pada masa ini, musik Melayu memasuki periode hiatus alias mati suri. Hal ini terbukti dengan tidak banyaknya musisi baik solo maupun group yang mengusung genre Melayu. Di periode ini, lagu Melayu yang paling saya ingat adalah “Isabela” yang disuarakan grup Malaysia.
Musik Melayu dan Perkembangannya di Sumater Utara
Seni musik Melayu sangat terpengaruh musik Cina, Portugis, India, Arab, dan Persia, sehingga bentuk awalnya tidak dapat diterka lagi. Dalam perkembangannya, musik Melayu menghadapi berbagai masalah, sehingga perlu dilakukan pengkajian yang mendalam.
Sejarah kesenian Melayu dapat ditelusuri dengan melihat pengaruh dunia luar dalam seni musik, lagu, dan tari Melayu. Pengaruh ini terjadi karena hubungan dagang antara Kerajaan Melayu Aru yang berpusat di Deli dengan Malaka sudah berlangsung sejak abad ke-13. Sejak tahun 1511 M Malaka menjadi benteng Portugis, sehingga pengaruh Portugis juga mewarnai nada dan gerak tari Melayu yang disesuaikan dengan resam dan kebiasaan suku itu. Pengaruh Portugis tersebut tergambar dalam tari atau rentak Pulau Sari yang lebih dikenal dengan nama Serampang XII
Pengaruh Siam juga diterima melalui Kedah dan Perlis dalam seni dramatari Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Serdang. Pengaruh Arab datang sejalan dengan masuknya Islam ke negeri-negeri Melayu. Corak Arab dapat dilihat dalam kesenian Zapin (Gambus), Kasidah, Rodat atau Barodah, serta Zikir Barat. Pengaruh Tamil (Keling, India Selatan) muncul dalam teater dan alat musik. Alat musik India seperti harmonium dan tabla digunakan untuk mengiringi lagu Melayu. Rentak (tempo) yang dihasilkan pada masa itu juga dikenal dengan nama chalti.
Kesenian Melayu seperti musik, lagu, maupun tari yang berkembang hingga pertengahan tahun 1930 dan akhir tahun 1942 sangat bersebati dengan masyarakat pendukungnya. Dulu pengarang lagu-lagu Melayu umumnya tidak mencantumkan namanya dalam karya mereka, tetapi ada juga nama pengarang yang sempat diketahui dari mulut ke mulut. Mereka sudah lanjut usia, dan sebagian sudah meninggal dunia. Di antara mereka adalah, Tengku Perdana atau Dahlan Siregar (alm.) yang menciptakan lagu Pulau Putri, dan Tengku Zubir yang lebih dikenal dengan nama Tengku Cubit yang menciptakan Kuala Deli. Lagu ini sangat terkenal di tanah Deli. Usman menciptakan lagu Dodoi Di Dodoi. Nama-nama pengarang dan lagunya sudah didaftar oleh Dewan Kesenian Medan dan Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Sumatera Utara.
Periodisasi Perkembangan Musik Melayu Di Sumatera Utara
a.     Periode 1942–1945
Pada masa pemerintahan Jepang, penampilan kesenian di Istana Serdang sangat kurang, tidak seperti sebelumnya. Kekurangan sangat terasa pada tahun 1942–1945, karena pergolakan politik yang terjadi pada masa itu. Walaupun demikian pada saat-saat tertentu penulis masih dapat mendengarkan lagu-lagu Melayu dari kelompok ronggeng yang sengaja dipanggil ke Istana Serdang untuk menghibur. Lagu-lagu Melayu seperti Senandung Dendang Sayang, Senandung Laksamana Mati Dibunuh, Senandung Anak Tiung, Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan, Lagu Dua, Tanjung Katung, dan Lagu Dua Seratus Enam tidak luput dari pendengaran. Lagu Dua Pulau Sari yang bertempo cepat dan selalu mengakhiri tari Serampang XII juga sempat terdengar.
b. Periode 1945–1949
Pada tahun 1945–1949 revolusi sosial melanda kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Raja yang dulu sering menyelenggarakan pertunjukan kesenian tidak berkuasa lagi, sehingga pertunjukan kesenian tidak ada lagi. Pada masa itu masyarakat memfokuskan diri pada kebutuhan sehari-hari dan aktif berjuang melawan penjajahan. Raja dan keturunannya yang tersisa tidak aktif lagi dan hanya berpikir untuk kelanjutan hidup. Pemusik, penari, dan penyanyi andalan sudah terpencar dan banyak yang beralih profesi. Beberapa alat musik telah dijual, sementara sebagian besar lainnya tidak terpelihara. Menjelang tahun 1950 beberapa pemusik, penari, dan penyanyi andalan itu sudah lanjut usia dan meninggal.
c. Periode 1950–1965
Pada periode ini, seni tari, lagu, dan musik Melayu kembali mendapat tempat di kalangan masyarakat, baik masyarakat Melayu sendiri maupun masyarakat Indonesia lainnya. Pada masa itu muncul tokoh tari Melayu yang bernama Sayuti, seorang pegawai PP&K Sumatera Utara yang berhasil menggugah seluruh masyarakat lndonesia dengan tari Melayu hasil gubahannya. Beliau berusaha mempopulerkan tari Melayu dengan menggunakan metode yang ringkas dan mudah dipelajari. Sayuti menggubah tari Tiga Serangkai yang terdiri dari tari Senandung dengan lagu Kuala Deli, tari Mak Inang dengan lagu Mak Inang Pulau Kampai, dan tari Lagu Dua dengan lagu Tanjung Katung. Selain itu, tari Mak Inang, tari Cek Minah Sayang, tari Anak Kala, dan beberapa tari Melayu lainnya juga digubahnya. Sebagai klimaks, Sayuti menggubah dua belas macam ragam berdasarkan tari-tari Melayu yang ada. Tari ini kemudian dikenal dengan tari Serampang XII.
Tari Serampang XII ini sangat menarik minat dan perhatian masyarakat, terutama generasi muda. Hal ini terbukti dengan terselenggaranya Festival Serampang XII pada setiap tahun sejak awal kegemilangannya hingga sekarang. Setiap pengiriman misi kesenian ke luar negeri maupun pada kesempatan mengisi acara kesenian di Istana Negara, Serampang XII dan beberapa tari Melayu lainnya selalu mendapat sambutan. Tahun-tahun tersebut boleh dikatakan sebagai masa suburnya kesenian tari Melayu.
Pembinaan Dan Perkembangan Musik Melayu
Setelah keadaan tenang dan pemerintah berkeinginan memajukan kebudayaan nasional, kita segera sadar perlunya pelestarian kebudayaan bangsa. Kebijakan pemerintah di bidang pariwisata, telekomunikasi, dan kebijakan lain sangat bermanfaat bagi pembinaan kesenian dan kebudayaan. Pada umumnya pelayanan kesenian disalurkan melalui wadah tertentu yang sudah terarah, sehingga menimbulkan gairah bagi seniman dan pecinta seni di Indonesia untuk berkesenian. Perubahan itu juga dirasakan kesenian Melayu yang menunjukkan prospek baik dengan munculnya kesenian Melayu di televisi, lahirnya karya film yang berkultur Melayu (Musang Berjanggut), dan penyiaran musik dan lagu Melayu melalui RRI yang diselenggarakan oleh masyarakat Melayu dan masyarakat daerah.
Beberapa Perkembangan Musik Di Medan Dan Sekitarnya
Musik tradisional Melayu kembali muncul, seperti musik angkatan Makyong Serdang pimpinan T. Luckman Sinar, yang mengiringi tari-tarian dari Himpunan Seni Budaya Melayu Sri Indra Batu Medan yang penulis pimpin. Penampilan pertama pada tahun 1976 mendapat respon dari masyarakat, baik masyarakat Melayu maupun masyarakat daerah lain. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat masih merindukan jenis musik tersebut. Berbagai perkumpulan dan organisasi kesenian yang menggunakan alat musik campuran juga muncul di luar kota.
Selain itu juga tumbuh minat kaum muda untuk membawakan lagu-lagu Melayu dengan orkes, band, dan musik kecil yang membuahkan aransemen baru yang terpengaruh musik Barat, seperti tempo cha-cha, mambo, rumba, dan sebagainya. Kelompok yang terpengaruh tersebut seperti SIRlS Combo pimpinan THM. Daniel. Dia dan rekanrekannya meneruskan warna dan corak orkes Tropicana.
Minat masyarakat daerah lain pun semakin besar. Ini ditandai dengan dibawakannya lagu-lagu Melayu oleh orkes Minang. Bahkan penyanyi-penyanyi pop pun sering membawakan lagu-lagu Melayu, seperti lagu Bunga Tanjung, Seringgit Dua Kupang, Mak Inang Pulau Kampai, dan sebagainya. Tumbuhnya tari-tari kreasi baru juga menghasilkan aransemen musik Melayu baru, walaupun sebagian besar lagu yang mengiringi tarian tersebut masih seperti lagu-lagu yang biasa didengar.
Musik Melayu dipengaruhi oleh musik asing, termasuk musik India yang membuahkan rentak atau tempo yang disebut chalti. Chalti ini kemudian melejit dan lebih dikenal sebagai musik dangdut. Sebagian orang mengakui bahwa lagu dangdut adalah lagu Melayu, sedang masyarakat Melayu sendiri ada yang enggan mengakuinya sebagai lagu Melayu. Jika melihat sejarah, mungkin pengaruh itu ada pada musik Melayu awal. Sekarang pengaruh tersebut sudah tidak jelas, karena ada pengaruh lain sehingga berbeda dengan rentak dan tempo chalti. Hal ini belum penulis ketahui dengan pasti, tetapi merupakan perkembangan baru yang menambah ragam rentak lagu Melayu yang telah ada dan akan menambah khazanah musik Indonesia.
Dibukanya jurusan Musikologi Etnik pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang
mencantumkan teori dan praktik musik Melayu telah menumbuhkan harapan cerahnya kehidupan musik Melayu pada masa mendatang. Dampaknya pada generasi muda sangat positif. Generasi muda di Sumatera Utara,khususnya Medan tidak lagi merasa “kampungan” bila memainkan musik tradisi Melayu.
Demikian beberapa catatan yang menandai kemajuan dan perkembangan musik Melayu di Sumatera Utara saat ini. Dari beberapa kemajuan dan perkembangan musik Melayu tersebut masih ada yang perlu dibicarakan dan penulis ingin mengaitkannya dengan tari Melayu, karena keduanya berkaitan erat. Hampir setiap pergelaran musik diiringi tari dan begitu pula sebaliknya. Frekuensi penyajian dan wilayah pengenalan dari keduanya telah meluas. Usaha untuk memperluas lagi dilakukan dengan menambah sarana dan fasilitas, serta dengan melakukan penggodokan terhadap para pendukungnya secara terus-menerus. Musik dan tari mendapat tempat dalam masyarakat luas, sehingga mendapat pengaruh dari beragam kultur yang kemudian membuahkan bermacam-macam gaya.
Kita menyadari bahwa setiap perkembangan selalu menuju kemajuan. Namun perlu diingat bahwa kemajuan itu hendaknya disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita. Perkembangan kesenian daerah harus diselaraskan dengan ciri khas daerah tersebut agar tidak tercerabut dari akar budayanya. Dalam makalah ini juga akan dikemukakan arah yang bisa dipegang agar pembicaraan mengenai tari dan musik tidak membingungkan, karena keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan. Musik/lagu dan tari Melayu mempunyai kekhasan yang bisa ditandai dari beberapa hal, misalnya dalam lagu Melayu dikenal istilah gerenek, tekuk, berenjut, dan sebagainya. Sementara dalam tari dikenal istilah gentan, terkam, angguk legar, cicing, jinjit, menumit, sauk, dan sebagainya.
Gerak dan gaya khas dan unik dalam tari dan lagu Melayu yang diberi nama tertentu tersebut akan dapat segera dirasakan oleh orang yang memahami tari dan lagu Melayu. Memang tidak seluruh penyanyi atau penari dapat melakukan gerak dan gaya khas Melayu, dan jika ada yang bisa melakukannya, belum tentu sesuai degan “rasa” orang Melayu. Orang Melayu sendiri tidak dapat menjelaskan yang dimaksud dengan “rasa”. Hal itu karena “rasa” sangat abstrak dan tidak ada takaran yang sahih mengenai hal itu. Barangkali “rasa” condong kepada ekspresi jiwa atau pengungkapan seperti yang ada pada setiap manusia, sehingga “rasa” sulit diverbalkan.
Pengaruh dari berbagai bentuk dan jenis kesenian yang ada tentu tidak dapat dihindari. Seorang penata tari tertarik pada suatu gerak tertentu, lalu mengembangkannya, dan pada proses seperti itu terjadi perubahan nilai estetika kesenian Melayu, sehingga dalam rentang waktu tertentu kita kehilangan ciri khas kemelayuannya. Contoh yang ingin penulis kemukakan di sini adalah yang terjadi pada lagu-lagu Melayu. Seorang biduan Minang membawakan lagu Bunga Tanjung yang dikenal sebagai lagu Melayu. Cara membawakan lagu tersebut akan segera ditandai oleh pendengaran orang Melayu
Tren Melayu di belantika music Indonesia mengundang polemik. Hal ini terjadi seiring adanya komentar dari beberapa musisi tanah air yang mencap music jenis ini sebagai sebuah degradasi (penurunan mutu). Hal ini sampai menimbulkan kesan ‘perang dingin’ antara musisi yang –terus terang – membuat saya suka senyum-senyum sendiri. Sebegitu immature-nya kah musisi kita?
Menurut WIKI, perkembangan music Melayu di Indonesia telah mulai sejak lama. Dahulu, kita mengenal adanya music Orkes Melayu yang masih menggunakan gitar akustik, akordeon, rebana, gambus dan suling sebagai instrument utamanya. Pada periode 50 dan 60-an, orkes-orkes Melayu di Jakarta ini memainkan lagu-lagu Melayu Deli asal Sumatera (sekitar Medan). Perlahan, seiring perkembangannya, unsur India mulai juga masuk ke dalam music Melayu. Ellya Khadam dengan hits “Boneka India”-nya merupakan representasi dari gejala ini. Selain itu masih ada penyanyi lain seperti P.Ramlee (Malaysia), Said Effendi (dengan lagu Seroja) dan lainnya yang mempopulerkan genre music ini.
Tonggak perkembangan music Melayu (yang berkelindan dengan music dangdut) adalah dengan adanya Soneta Group, pimpinan Rhoma Irama di tahun 1970-an. Setelah itu, music Indonesia diwarnai oleh beragam genre yang merupakan unsur-unsur asing seperti Rock, Reggae, Heavy Metal hingga SKA dan Grundge (Alternative). Pada masa ini, musik Melayu memasuki periode hiatus alias mati suri. Hal ini terbukti dengan tidak banyaknya musisi baik solo maupun group yang mengusung genre Melayu. Di periode ini, lagu Melayu yang paling saya ingat adalah “Isabela” yang disuarakan grup Malaysia.
Namun sebagaimana jenis seni apapun (mo fashion, painting, dll), music juga mengalami proses
recycle
. Unsur-unsur Melayu yang pernah dinyatakan “mati”, usang dan nggak nyeni itu mulai ngetop lagi dengan adanya grup-grup seperti ST 12, Wali, Hijau Daun dan lainnya. Bahkan Soneta “reinkarnasi” kembali di sosok Ridho Roma.
Alat Musik Tradisional Melayu
Musik merupakan salah satu hiburan bagi manusia. Dengan musik perasaan menjadi tenang dan damai. Sejak zaman dahulu musik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Tidak terkecuali di tanah Melayu Riau. Tanah Melayu adalah salah satu daerah yang memiliki musik yang unik.

Alat musik melayu dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu:
- Aerofons adalah alat musik tiup.
- Cordofons adalah instrumen musik yang memiliki senar yang dimainkan  dengan cara dipetik.
- Idiofons adalah instrumen musik perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul.
- Membranofons, alat musik yang terbuat dari kulit atau membran yang membentang di atas instrumen untuk menghasilkan suara yang bila dipukul.
Alat Musik Tradisional Melayu Riau
Pada budaya Melayu, alat musik digunakan untuk mengiringi tarian atau lagu-lagu tradisional Melayu. Berikut beberapa alat musik tradisional Melayu Riau:
1. Rebana Ubi
Alat musik ini sangat terkenal sejak zaman kerajaan Melayu Kuno. Rebana ubi sering digunakan saat upacara pernikahan.Selain itu Rebana ubi juga digunakan sebagai alat komunikasi sederhana pada zaman itu karena bunyinya yang cukup keras. Jumlah pukulan pada rebana ubi memiliki makna tersendiri yang telah dipahami oleh masyarakt saat itu.
2. Kompang
Kompang merupakan alat musik Melayu yang paling populer saat ini, kompang banyak digunakan dalam berbagai acara-acara sosial seperti pawai hari kemerdekaan. Selain itu alat musik ini juga digunakan untuk mengiringi lagu gambus. Kompang memiliki kemiripan dengan rebana tetapi tanpa cakram logam gemerincing di sekelilingnya.
3. Sape
Sape adalah seruling tradisional masyarakat Melayu. Alat musik dibuat dengan bambu panjang yang dilubangi sehingga menghasilkan nada yang indah. Alat musik ini dapat dimainkan dengan cara ditiup. Sape digunakan untuk melengkapi musik tarian tradisional Melayu. Selain itu, sape juga digunakan sebagai pelengkap musik pengiring dari lagu tradisional Melayu. Sampai saat ini alat musik ini masih sering digunakan. Salah satunya adalah untuk mengirinya musik dangdut (perkembangan dari musik Melayu). 
 
Sumber:http://dedeaaan.blogspot.com/2012/05/sejarah-musik-melayu.html

No comments: