Oleh Ahmad Munjid
Mahasiswa Magister Kajian Tradisi Lisan, FIB UI.
Pendahuluan
Keroncong
adalah sebuah kesenian yang memiliki sejarah panjang dan penuh dengan
dinamika dan pertentangan. Penelusuran sejarah keroncong dimulai dari
abad ke-17, ketika itulah keroncong pertama kali muncul di Batavia yaitu
di Kampung Tugu. Dari Kampung Tugu, keroncong kemudian menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari kehidupan kota Batavia. Pada masa-masa
selanjutnya, keroncong mengalami perkembangan dan bercampur dengan
unsur-unsur budaya lain yang ada di Idonesia.
Keroncong
pernah dianggap sebagai lagu-lagu pujian di satu masa, lalu di masa
yang lain dianggap sebagai pembangkit rasa cinta tanah air dan semangat
kebangsaan. Sekarang ini, masyarakat umum mengenal keroncong sebagai
sebuah kesenian musik khas Indonesia yang memiliki irama yang dinamis, melodius dan tehnik bernyanyi dengan cengkok khusus,
dibawakan oleh para pemain musik dan penyanyi yang selalu berpakaian
sopan dan resmi serta tidak banyak gaya dan gerak sehingga terkesan
kaku. Banyak kalangan yang menganggap keroncong adalah musik untuk orang tua. Karakter seperti itu, menurut penelitian sejarah, adalah sama dengan karakter keroncong yang dijumpai pada jaman Jepang, tapi berbeda dengan sebelum jaman Jepang. Sebelum jaman Jepang, keroncong berkarakter ‘liar’ serta pelaku juga penggemarnya adalah kaum muda dan remaja.
Dalam sejarah perkembangannya, dinamika musik keroncong, perubahan teknis musik, sifat, fungsi dan posisinya di
masyarakat, tidak terlepas dari adanya pertentangan dan polemik
terutama pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1944. Dalam tulisan ini
akan dilihat bahwa ada pihak yang menjadi ‘korban’ kebijakan budaya yang
dilakukan pemerintah pendudukan Jepang.
Musik Keroncong di Indonesia
Penelusuran
sejarah keroncong dimulai dari sebuah wilayah di Batavia yang bernama
Kampung Tugu. Sejak pertengahan abad ke-17, di Kampung Tugu terdapat
segolongan masyarakat yang mempunyai hubungan erat dengan negeri
Portugis. Pada awalnya dulu mereka disebut ‘Black Portuguese’. Beberapa pendapat mengatakan bahwa ’Black Potuguese’
ini sebenarnya adalah orang-orang bangsa Moor, orang-orang Islam yang
menguasai semananjung Iberia (Portugis-Spanyol)selama abad 7 hingga abad
15, yang dibaptis Katolik setelah persekutuan raja-raja Katolik (Los Reyes Catolicos) merebut kembali kekuasaan di Iberia pada akhir abad ke-15[1].
Keadaan politik yang diskriminatif membuat bangsa Moor keluar dari
Portugis dengan ikut pada kapal-kapal dagang Portugis sebagai budak
hingga sampailah mereka di Batavia sekitar awal abad ke-17. Ketika
Batavia direbut oleh VOC, bangsa Moor termasuk yang menjadi tahanan VOC.
Setelah beberapa tahun ditahan, mereka kemudian dibebaskan dan disebut
kaum mardijkers. Pada tahun 1633, mereka pindah agama menjadi Protestan, agama orang-orang Belanda, dan kemudian diberi tempat di Kampung Tugu.[2]
Di Kampung Tugu inilah mereka memainkan sebentuk kesenian musik yang
kemudian dikenal dengan keroncong. Menurut A.Th. Manusama yang diperkuat
oleh Antonia Pinto da Franca, lagu keroncong pertama di Indonesia lahir
di Tugu sekitar tahun 1661, berjudul ‘Mouresco’.[3]
‘Wajah’ Keroncong (1870-an – 1944)
Sekitar
tahun 1870-an, ketika Bahasa Melayu mulai popular di Batavia, musik
orang-orang Tugu mulai diminati pula oleh orang-orang Indo-Belanda dan
juga orang-orang Indonesia. Orang-orang Indo menyanyikan keroncong
dengan bahasa campuran Melayu dan Belanda. Pada masa ini bentuk musik
keroncong masih sederhana yaitu terbangun hanya dengan alat musik gitar
kecil (keroncong-kita kenal dengan ukulele) 3 dan 4 senar, gitar besar
dan rebana sebagai perkusi.
Di
tangan orang-orang Indo, bentuk musik masih sama namun penampilan
keroncong sedikit berubah menjadi lebih romantis. Sejak dimainkan oleh
orang-oranag Indo yang memiliki kapital budaya barat yang tentu berbeda
dengan kapital budaya orang-orang Tugu sebagai ‘pemilik asli’ keroncong, ‘wajah’
keroncong mulai terbentuk mengikuti pola budaya orang-orang Indo.
Syair-syair lagu yang dinyanyikan selalu bersifat merayu untuk memikat
hati lawan jenis (laki-laki kepada perempuan), perilaku para musisinya
juga lebih ‘liar’ dengan menyanyikannya di jalan-jalan, di gang-gang,
di kampung melewati rumah para ‘noni’ yang ingin dirayunya, juga pada
malam hari tidak perduli gelap atau terang bulan dan tidak jarang pula
sambil mabuk-mabukan dan menari-nari yang memgisyaratkan kebirahian.[4] Mulailah dikenal kata-kata asmara merayu seperti “…aih! Zoetlief…”, “…indung-indung disayang…”, “…hai
nona manis…” dan lain-lain. Sejak dimainkan oleh orang-orang Indo,
keroncong identik dengan ‘keliaran’, ‘binalitas’ dan ‘urakan’ dengan
lagu yang selalu bersifat asmara merayu. . Pada masa ini pula lahir istilah ‘de krokodilen atau
‘Buaya Keroncong’ yang kemungkinan besar lahir dari komunitas pemusik
keroncong di Kampung kemayoran. Lahir pula beberapa kelompok keroncong
lain yang sangat kental warna Baratnya karena menggunakan nama berbahasa
asing seperti, Lief java, Hawaiian syncopators dan Orks Belloni Di
kalangan para musisi keroncong ini tumbuh perasaan lebih mulia atau
lebih tinggi statusnya dari rakyat pribumi karena dapat bergaul dengan
orang-orang Belanda dan dapat berbicara Bahasa Belanda, bernyanyi-nyanyi
sambil berdansa-dansa sambil minum minunman keras sebagaimana habitus
asli orang Belanda.
‘Wajah’
keroncong seperti ini bertahan cukup lama di Indonesia hingga awal abad
ke-20 saat keroncong mengalami penegasan unsur kapital budaya Barat
ketika berkenalan dan beradaptasi dengan sempurna dengan musik-musik
Barat yang masuk ke Indonesia. Dimulai pada tahun 1920-an, masuk musik jazz, Hawaiian dan orchestra
ke Indonesia yang mempengaruhi pembentukan unsur dan bentuk musik
keroncong yang telah ada di Indonesia, antara lain pada penggunaan alat
musiknya, hitungan dan irama lagu serta kecendrungan keaksaraan dalam
musik yaitu penggunaan partitur musik.[5]
Seluruh unsur itu diserap dengan cepat oleh musik keroncong hingga
kemudian musik keroncong menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini.
Pada
tahun 1942, jepang menduduki Indonesia. Datangnya Jepang membawa
pengaruh yang sangat mendasar bagi keroncong. Warna Barat yang melekat
pada keroncong sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip pendudukan
Jepang di Indonesia.
Jepang
memiliki misi yang mereka sebut dengan ‘perang suci’ melawan
imperialisme Barat. “Perang suci’ ini dilakukan dalam segala sendi
kehidupan, termasuk dalam kebudayaan. Melalui lembaga kebudayaannya, Keimin Bunka Shidosho,
Jepang berusaha menghapus unsur-unsur Barat dalam kesenian Indonesia
dan secara bersamaan mengembangkan dan memasyarakatkan kesenian ‘asli’
Indonesia. Keroncong dengan segala warna Barat-nya mendapat perhatian
khusus.
Rekayasa Keroncong
‘Cap
Barat’ yang melekat pada keroncong selama bertahun-tahun berkembang
menjadi apa yang disebut oleh Yapi Tambayong sebagai pejudis atau
prasangka atau sentimen kebaratan dari sebagian besar masyarakat
terhadap keroncong. Bahkan, sentimen kebaratan itu membawa serta pula di
dalamnya sentimen yang bersifat agamawi, terutama dari agama Islam
sebagai agama mayoritas. Pemerintah pendudukan Jepang melihat dengan
jelas fenomena ini. Maka, Usaha Jepang untuk merubah keroncong pada
segala unsurnya, baik teknis musik, syair lagu dan perilaku para musisi
dan penikmatnya, dimulai dengan strategi propaganda mendekati golongan
agama yang teridentifikasi memiliki keberatan yang besar terhadap
keroncong dan segala tendensi ‘cap Barat’ yang melakat padanya. Pada
surat kabar-surat kabar yang beredar pada masa itu, misalnya harian
Djawa Baroe, Jepang mempropagandakan bahwa segala kesenian yang
kebarat-baratan tidak sesuai dengan budaya Indonesia, merusak jiwa
kebangsaan Indonesia dank arena itu perlu dihapuskan. Propaganda ini
sekaligus pula menginisiasi membuka ruang kepada siapa saja untuk
mengekspresikan keberatannya terhadap keroncong. Banyak kalangan,
terutama dari kalangan agama dan nasionalis, angkat bicara tentang
keberatannya terhadap prilaku para pemusik keroncong yang ‘maksiat’
karena hampir pasti musik keroncong selelau beriring dengan
mabuk-mabukan dan pengumbaran hawa nafsu. Meskipun dalam surat kabar
lebih banyak dimuat pendapat yang membenci keroncong, namun di
masyarakat sesungguhnya terjadi pula perdebatan runcing mengenai perlu
tidaknya keroncong dihapuskan. Di Jakarta, polemik bahkan berkembang
menjadi sentiment agamawi yang digambarkan oleh Yapi Tambayong sebagai masakre
terhadap komunitas Tugu, tanah kelahiran keroncong yang masyarakatnya
beragama Protestan, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan fisabilillah dari Tanjung Priok.[6]
Polemik
mengenai keroncong ini sesungguhnya terjadi bahkan hingga setelah
berakhirnya masa pendudukan Jepang. Ki Hajar Dewantara pernah
mengemukakan pendapatnya bahwa sudut paling lemah dalam musik Indonesia
adalah keroncong. Hal itu disebabkan karena adanya penyanyi wanita yang
berasal dari lingkungan kurang baik, pemusik dan penyanyi pria yang
bermain musik dan bernyanyi sengaja untuk memikat hati para wanita
dengan syair-syair asmara birahi, juga dengan adanya apa yang disebut
dengan buaya keroncong yang berasal dari kalangan pencopet, perampok,
pencoleng dan sebagainya.[7]
Polemik
di media massa dan dalam realitas di masyarakat dijadikan alasan oleh
Jepang untuk melakukan tindakan nyata, sebagai bagian dari propaganda
‘perang suci’ melawan Imperialisme barat. Melalui Keimin Bunka Shiosho,
pemerintah Jepang dengan resmi melarang seluruh bentuk kesenian yang
ber ‘Cap Barat’ terutama keroncong. Jepang membuka ruang dan kesempatan
bagi pihak-pihak yang menyukai musik keroncong tapi membenci habitus
‘Barat’ dari keroncong. Didoronglah penciptaan lagu-lagu keroncong yang
syairnya bertemakan cinta tanah air, keindahan alam dan semangat
ke-Indonesiaan. Maka lahirlah lagu-lagu ‘Bengawan Solo’, ‘Jembatan
Merah’, ‘Suci’ dan lain-lain. Lebih jauh lagi, Jepang mengadakan
festival-festival dan pertunjukan musik keroncong yang tata panggung dan
penampilan para musisinya sudah diatur sedemikian rupa. Para musisi
tidak lagi bebas ‘liar’ melainkan duduk rapi di kursi berkonsentrasi
dengan partitur lagu, penyanyinya tidak lagi bebas berpakaian tapi harus
memakai pakaian yang ‘sopan’ dengan kain, kebaya dan dengan sendirinya
tidak lagi bebas menari-nari tapi hanya diam berdiri di tempat dengan
gesture ‘sempurna’ menyampaikan nyanyian hingga selesai.
Transformasi
yang diinisiasi oleh pemerintah pendudukan Jepang ini sangat berhasil
jika melihat pada masa-masa selanjutnya, corak musik keroncong yang
berkembang di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya, Solo, Jogja dan Semarang, cenderung seragam yaitu corak hasil
rekayasa budaya oleh Jepang. Sementara corak yang lain seperti yang
dimainkan orang-orang Kampung Tugu dan kelompok
Keroncong Kemayoran tidak leluasa berkembang karena pemahaman dan
apresiasi masyarakat kebanyakan telah diarahkan seragam, yaitu
menganggap keroncong yang ‘pantas’ dinikmati adalah keroncong
‘Indonesia’ bukan keroncong ‘barat’. Bahkan kelompok Lief Java, Hawaiian Syncopators, orkes belloni
dan kelompok-kelompok lain yang menggunakan nama Barat praktis ‘mati’
atau terpaksa mengganti nama dengan bahasa Indonesia dan memainkan corak
keroncong yang sama mengikuti corak yang ‘diijinkan’ oleh masyarakat.
Kelompok-kelompok itu bisa dikatakan sebagai ‘korban’ kebijakan budaya
yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang.
Kesimpulan
Dalam
sejarah perkembangannya, paling tidak dua kali keroncong mengalami
transformasi budaya. Pertama, pada awal abad ke-20, ketika keroncong
menjadi musik yang digemari dan digiati oleh orang-orang Indo-Belanda di
Batavia, Surabaya dan Bandung. Sejak dimainkan oleh orang-oranag Indo
yang memiliki kapital budaya barat, habitus
keroncong mulai terbentuk mengikuti pola budaya orang-orang Indo.
Syair-syair lagu yang dinyanyikan selalu bersifat merayu untuk memikat
hati lawan jenis (laki-laki kepada perempuan), perilaku para musisinya
juga lebih ‘liar’ dengan menyanyikannya di jalan-jalan, di gang-gang,
di kampung melewati rumah para ‘noni’ yang ingin dirayunya, juga pada
malam hari tidak perduli gelap atau terang bulan dan tidak jarang pula
sambil mabuk-mabukan dan menari-nari yang mengisyaratkan kebirahian.
Transformasi
kedua kali dialami keroncong pada masa pendudukan Jepang tahun
1942-1944. Sesuai dengan misinya yang disebut ‘perang suci’ melawan
Imperialisme Barat, Jepang berusaha menghapus unsur-unsur Barat dalam
kesenian Indonesia termasuk dalam musik keroncong. Jepang menginisiasi
terjadinya polemik di surat-surat kabar yang melebar menjadi perdebatan
dalam realitas di masyarakat mengenai keroncong yang ber’cap’
kebarat-baratan. Yang terungkap dalam polemik itu dijadikan dasar oleh
Jepang untuk melegitimasi tindakan pemerintah pendudukannya yaitu
melarang keberadaan keroncong yang kebarat-baratan. Melalui bagian seni
suara Keimin Bunka Shidosho,
Jepang berusaha merubah keroncong pada segala unsurnya, baik teknis
musik, syair lagu dan perilaku para musisi dan penikmatnya. Didoronglah
penciptaan lagu-lagu keroncong yang syairnya bertemakan cinta tanah air,
keindahan alam dan semangat ke-Indonesiaan. Jepang mengadakan
festival-festival dan pertunjukan musik keroncong yang tata panggung dan
penampilan para musisinya sudah diatur sedemikian rupa. Para musisi
tidak lagi bebas ‘liar’ melainkan duduk rapi di kursi berkonsentrasi
dengan partitur lagu, penyanyinya tidak lagi bebas berpakaian tapi harus
memakai pakaian yang ‘sopan’ dengan kain, kebaya dan dengan sendirinya
tidak lagi bebas menari-nari tapi hanya diam berdiri di tempat dengan
gesture ‘sempurna’ menyampaikan nyanyian hingga selesai.
Pada
masa-masa selanjutnya, corak musik keroncong yang berkembang di
kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo,
Jogja dan Semarang, cenderung seragam yaitu corak hasil rekayasa budaya
oleh Jepang. Sementara corak yang lain seperti yang dimainkan
orang-orang Kampung Tugu dan kelompok
Keroncong Kemayoran tidak leluasa berkembang karena pemahaman dan
apresiasi masyarakat kebanyakan telah diarahkan seragam, yaitu
menganggap keroncong yang ‘pantas’ dinikmati adalah keroncong
‘Indonesia’ bukan keroncong ‘barat’. Bahkan kelompok Lief Java, Hawaiian Syncopators, orkes belloni
dan kelompok-kelompok lain yang menggunakan nama Barat praktis ‘mati’
atau terpaksa mengganti nama dengan bahasa Indonesia dan memainkan corak
keroncong yang sama mengikuti corak yang ‘diijinkan’ oleh masyarakat.
Kelompok-kelompok itu bisa dikatakan sebagai ‘korban’ kebijakan budaya
yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang.
Sumber:http://kampungbetawi.com/sejarah-musik-keroncong/
No comments:
Post a Comment